"Pengemis Tua"
Udara
dingin seketika masuk ke dalam tubuh hingga menembus tulang-tulangku. Saat
kutengok jam dinding ternyata arah jarum jam menunjuk pada pukul 04:00. Suara
adzan subuh mulai berkumandang di telingaku. Suara itu mengingatkanku pada masa
kecil yang penuh dengan kasih sayang seorang kakek. Kasih sayang yang begitu
hangat dan yang membuatku selalu merasa nyaman saat berada di dekatnya.
Andaikan waktu bisa diulang kembali aku akan memeluk dirinya bahkan aku tidak
akan pernah melepaskan pelukakanku itu. Sungguh aku merindukanmu…. Sesaat aku
terbangun dari lamunanku. Tanpa sadar, air mata pun mulai membanjiri pipi
mungilku. Seketika itu juga aku melipat selimut yang telah menghangati tubuhku
sepanjang malam. Aku pun segera berdoa kepada Tuhan, mengucap syukur atas hari
baru yang telah Ia beri sebagai suatu kesempatan emas bagiku. Usai berdoa aku
beranjak dari tempat tidur ternyamanku dan mulai menginjakkan kaki di lantai
berkeramik putih yang sangat dingin.
Aku berjalan
menuju toilet untuk mencuci mukaku yang sembap akibat air mata yang menetes
dari mataku. Kuambil segayung air untuk mencuci mukaku dan mengambil segayung
lagi untuk menggosok gigi. Tak lama kemudian aku pun kembali ke kamar
tercintaku. Saat aku mulai berjalan, terdengar dering ponsel yang bersumber
dari meja yang ada di sudut ruangan. Segera kuambil ponselku itu dan dengan
rasa penasaran, perlahan-lahan kubuka layar ponselku. Setelah kubuka, kulihat
10 pesan dan 5 panggilan tak terjawab yang masuk pada ponselku. Pesan tak
terduga telah kubaca kata demi kata, aku pun segera membalasnya dengan kata
“Iya”. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengambil sepasang sepatu kets
berwarna pink bertali putih. Dengan penuh semangat aku memasangkan sepatu yang
telah kuambil dari rak sepatu itu pada kakiku. Tak lama kemudian aku berjalan
menuju ke depan rumah untuk menghampiri kedua temanku. Tepat di depan pintu
gerbang itu mereka sedang berdiri mengenakan kaos polos, celana training, dan
sepatu kets sama seperti yang kukenakan saat ini. Aku pun segera menghampiri
mereka.
“Woy bro mau jogging kemana nih?” kataku penasaran.
“Terserah
kamu aja lah.” Sahut Neli, salah seorang temanku.
“Kok
terserah aku sih? Kan kalian yang ngajakin.” Jawabku sambil mengernyitkan dahi.
“Udahlah
kamu aja yang nentuin sar.” Sambung Sandra teman masa kecilku.
Tak terasa kami
menghabiskan waktu beberapa menit hanya untuk berunding tentang kemana kami
akan pergi jogging. Akhirnya, kami
memutuskan untuk pergi ke lapangan yang cukup luas dan dikelilingi pohon-pohon
rindang. Dengan penuh semangat, kami berlari-lari kecil menuju ke lapangan yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Sambil menikmati udara yang segar
kami terus berlari-lari. Matahari yang mulai menunjukkan sinarnya membuatku
ingin cepat-cepat sampai tujuan. Sesampainya di lapangan, kami terus berlari tanpa
menghentikan langkah sedikitpun. Menit demi menit kami lewati hanya untuk
berlari mengelilingi lapangan. Tanpa terasa, keringat pun terus bercucuran
hingga membasahi wajah kami. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat
sejenak dengan duduk di pinggir lapangan. Kami begitu menikmati waktu istirahat
ini, terlihat dengan jelas dedaunan dari setiap pohon terus menari-nari
menyambut datangnya sang mentari. Pepohonan yang rindang pun membuat kami
menjadi malas mengangkat kaki dari tempat ini tetapi sinar matahari semakin
terasa menyengat di kulitku sehingga membuatku ingin pulang ke rumah.
“Woy
bro, pulang yuk!” kataku sembari mengusap dahi yang penuh dengan keringat.
“Nanti
dulu lah, masih pengin main nih.” Sahut Sandra dengan wajah penuh harap.
“Udah jam berapa ini? Panas tau.”
Balasku.
Akhirnya kami
memutuskan untuk pulang ke rumah kami masing-masing. Saat kami sedang dalam
perjalanan menuju ke rumah, terlihat dari kejauhan seorang kakek tua dengan
pakaian yang terlihat lusuh dan compang-camping duduk termenung di depan warung
makan. Dengan rasa penasaran kami pun mengahampiri kakek tua itu.
“Permisi kek, ada yang bisa kami
bantu?” kataku dengan nada yang pelan.
Kakek itu hanya membalas pertanyaanku dengan sebuah
senyuman. Hal itu membuatku semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada
kakek tua ini. Aku berusaha mendekati dan duduk di samping kakek itu bahkan aku
melanjutkan pertanyaanku kepadanya.
“Kakek kenapa?” tanyaku lagi.
“Kakek sudah tidak tahan hidup nak.”
Katanya sambil meneteskan air mata.
“Kok kakek bicara seperti itu?”
Tanya Neli penasaran.
“Kakek
sudah tua, miskin, dan bahkan hidup sebatang kara nak. Untuk makan saja kakek
tidak punya uang.” Jawab kakek sambil menatap kami.
“Kakek
jangan bicara seperti itu, meskipun kakek tidak punya apa-apa dan bahkan tidak
punya siapa-siapa di dunia ini, kakek harus selalu inget kalo kakek itu masih
punya Tuhan yang sampai detik ini mau menjaga kakek.” Sahut Sandra meyakinkan
kakek.
Kakek tua itu sudah tidak bisa menahan kesedihannya
lagi, sehingga ia pun meneteskan air mata. Aku mengambil beberapa lembar tissue untuk kuberikan pada kakek itu.
Beberapa menit kemudian kakek itu mulai melanjutkan pembicaraan kami.
“Kalian
dari mana nak?” Tanya kakek.
“Kami
baru saja selesai olahraga kek. Oh iya, kebetulan kita ada di depan warung
makan nih gimana kalo kita makan dulu sekalian makan bareng sama kakek,” ajak
Neli kepada kami.
“Setuju
banget tuh.” Jawabku spontan.
Kami begitu
menikmati kebersamaan ini meskipun sangat sederhana. Kulihat kakek tua itu
begitu menikmati makanan yang sedang ia makan meskipun hanya nasi rames yang
harganya tidak seberapa. Seketika itu juga aku teringat pada kakekku yang
beberapa tahun lalu meninggal dunia akibat terkena penyakit liver. Saat kuperhatikan kakek tua itu,
entah mengapa aku merasakan kehadiran sosok kakek yang dahulu begitu
mengasihiku meskipun kami baru pertama bertemu. Setelah kami selesai makan,
kakek itu kemudian memperkenalkan siapa dirinya kepada kami. Ia berkata kepada
kami bahwa ia hanyalah seorang pengemis tua yang hidupnya hanya bergantung pada
belas kasihan orang. Usianya yang tua membuat ia tidak bisa melakukan pekerjaan
berat, apalagi kaki kanannya tidak bisa digerakkan akibat kecelakaan dua tahun
yang lalu. Saat ini kakek hanya bisa duduk di pinggir jalan dan menantikan
seseorang yang datang kepadanya dengan belas kasihan membawa sekeping uang
logam yang menurut mereka mungkin sudah tidak ada nilainya lagi.
Aku benar-benar
tidak bisa membayangkan betapa beratnya
menjalani hidup sebatang kara dengan tidak memiliki tempat untuk berteduh dan
uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terkadang aku tidak bersyukur atas apa
yang kumiliki saat ini bahkan aku selalu menuntut lebih kepada kedua orang
tuaku dan jika aku tidak bisa mendapatkannya pasti aku akan memberontak. Selama
ini aku hanya bisa menghambur-hamburkan uang yang telah orang tuaku beri. Kini
aku menyadari bahwa sesungguhnya apa yang aku miliki saat ini adalah Anugerah
terbesar yang telah Tuhan berikan kepadaku. Aku memberanikan diri untuk
menanyakan banyak hal mengenai keseharian kakek selama ini dan cerita kehidupan
yang telah kakek itu jelaskan kepada kami membuatku berpikir untuk membawanya
ke rumahku besok pagi. Ketulusan hati terhadap orang yang ada di sekelilingnya
selama ini membuatku kagum kepadanya. Tiba-tiba aku teringat pada ayahku yang
sedang terbaring sakit di RSU Palang Biru Jakarta. Aku pun segera berpamitan
kepada kakek dan kedua temanku karena aku harus pergi ke rumah sakit untuk
menjaga ayahku. Selang beberapa jam akhirnya aku tiba di rumah sakit.
Kulihat kondisi ayahku semakin hari semakin
memburuk, hal itu membuat hatiku semakin hancur tak karuan. Kulangkahkan kakiku
keluar dari ruang rawat ayahku, aku tidak tega melihat kondisi ayahku yang terbaring
lemah tak berdaya. Aku pun berjalan menuju ke taman yang berada di depan rumah
sakit dan duduk disana untuk menenangkan hati. Tiba-tiba terdengar suara dering
ponsel yang bersumber dari saku celanaku dan tanpa berpikir panjang aku segera
mengangkat telepon itu. Secara spontan aku menjatuhkan ponselku setelah
mengangkat telepon dari nomor yang tidak kukenal itu. Kulangkahkan kakiku
dengan terburu-buru menuju ke ruang rawat ayahku. Suara tangisan terdengar
keras dari dalam ruangan tersebut. Dengan sesegara mungkin aku memasuki ruang
itu dan di pojok ruangan terlihat ibu
dan sanak saudaraku sedang menangis. Mataku mulai mengarah pada seseorang yang
sedang terbaring dengan ditutup kain putih. Tubuhku terasa lemas dan air mataku
tidak berhenti mengalir saat kulihat sosok ayah yang selama ini kubanggakan
yang juga mengasihiku seperti almarhum kakek sudah tak bernapas lagi.
Aku melangkahkan
kakiku perlahan menuju ke luar ruangan karena aku benar-benar tidak sanggup
menerima kenyataan ini. Saat aku menutup pintu, dalam waktu yang bersamaan
terdengar suara tangisan yang suaranya seperti tidak asing bagiku dari arah
belakang. Aku pun menoleh ke arah belakang. Kulihat dari kejauhan kedua
temanku, Sandra dan Neli mendorong ambulance
stracher dengan membawa seorang pasien. Dengan langkah yang cukup cepat aku
segera menghampiri mereka. Kulihat lumuran darah menutupi beberapa bagian tubuh
seorang pasien yang dibawa oleh kedua temanku. Air mataku semakin mengalir saat
kuperhatikan dengan baik siapa orang yang dibawa oleh teman-temanku. Dengan
langkah yang teburu-buru aku dan teman-temanku membawa kakek tua yang baru saja
kami kenal itu ke ruang UGD supaya segera ditangani. Teman-temanku menceritakan
seluruh kejadian kecelakaan yang menimpa kakek. Hatiku merasa tidak tenang
setelah mendengar cerita mereka karena kecelakaan yang dialami kakek sangat
tragis. Beberapa saat kemudian tim dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah
yang terlihat muram.
Akupun
memberanikan diri untuk menanyakan keadaan kakek yang baru saja mengalami
kecelakaan tragis itu. Perkataan dokter seketika membuat napasku seakaan-akan
berhenti dan hatiku mulai memanas karenanya. Air mataku semakin mengalir deras
membasahi pipiku. Entah mengapa aku sangat merasa kehilangan ketika mendengar
bahwa nyawa kakek tidak bisa tertolong lagi. Rencanaku untuk membawa pulang
kakek tua itu ke rumah untuk menggantikan posisi almarhum kakekku telah sirna dalam sekejap. Hari ini adalah
hari yang penuh keduakaan besar bagiku karena dua orang yang sangat berarti
dalam hidupku pergi meninggalkanku. Keesokan harinya keluarga kami sepakat
untuk memakamkan kakek tua ini bersamaan dengan pemakaman ayahku. Aku meminta
kepada ibuku untuk memakamkan ayahku dan kakek tua ini di sebelah makam milik
almarhum kakekku. Hatiku semakin hancur ketika taburan bunga menyelimuti
pemakaman kedua orang yang kucintai ini. Tangis kesedihan sesaat merasuk ke
dalam hidupku.
-TAMAT-