Selasa, 02 Januari 2018

Hidup untuk mengampuni




FORGIVeness
 Bacaan: Markus 11:25

S
eorang wanita berkulit hitam yang telah renta dengan wajah yang tergores akibat penderitaan yang dialaminya bertahun-tahun oleh seseorang yang bernama Mr. Van den Broek berdiri di suatu ruang pengadilan di Afrika Selatan. Selain menganiaya, Mr. Van den juga telah membunuh anak laki-laki beserta suami dari seorang wanita tersebut. Beberapa tahun yang lalu laki-laki itu datang ke rumah wanita itu. Ia mengambil anaknya, menembaknya dan membakar tubuhnya. Beberapa tahun kemudian, ia kembali lagi. Ia mengambil suaminya. Dua tahun wanita itu tidak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Kemudian, Van den Broek kembali lagi dan mengajak wanita itu ke suatu tempat di tepi sungai. Ia melihat suaminya diikat dan disiksa. Mereka memaksa suaminya berdiri di tumpukan kayu kering dan menyiramnya dengan bensin. Kata-kata terakhir yang didengarnya ketika ia disiram bensin adalah, “Bapa, ampunilah mereka.”. Belum lama berselang, Mr. Van den Broek ditangkap dan diadili. Ia dinyatakan bersalah, dan sekarang adalah saatnya untuk menentukan hukumannya. Ketika wanita itu berdiri, hakim bertanya, “Jadi, apa yang Anda inginkan? Apa yang harus dilakukan pengadilan terhadap orang ini yang secara brutal telah menghabisi keluarga Anda?”. Wanita itu menjawab, “Saya menginginkan tiga hal. Pertama, saya ingin dibawa ke tempat suami saya dibunuh dan saya akan mengumpulkan debunya untuk menguburkannya secara terhormat.” Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Suami dan anak saya adalah satu-satunya keluarga saya. Oleh karena itu permintaan saya kedua adalah, saya ingin Mr. Van den Broek menjadi anak saya. Saya ingin dia datang dua kali sebulan ke ghetto (perumahan orang kulit hitam) dan melewatkan waktu sehari bersama saya hingga saya dapat mencurahkan padanya kasih yang masih ada dalam diri saya.” Dan akhirnya ia berkata, “permintaan saya yang ketiga. Saya ingin Mr. Van den Broek tahu bahwa saya memberikan maaf bagi dia karena Yesus Kristus mati untuk mengampuni. Begitu juga dengan permintaan terakhir suami saya. Oleh karena itu, bolehkah saya meminta seseorang membantu saya ke depan hingga saya dapat membawa Mr. Van den Broek ke dalam pelukan saya dan menunjukkan padanya bahwa dia benar-benar telah saya maafkan.”
            Ilustrasi diatas mengingatkan kepada kita bahwa dalam hidup ini kita harus dengan sepenuh hati mengampuni seseorang yang bersalah kepada kita. Seringkali kita merasa malas jika harus mendengar kata “mengampuni” karena mengampuni seseorang yang telah melukai kita tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mengampuni seseorang memerlukan kerendahan hati dan rasa takut akan Tuhan. Mengapa dikatakan demikian? Karena Tuhan Yesus sendiri memberikan teladan yang baik dalam hal pengampunan seperti yang tertera dalam Kolose 2:13-14 dimana Ia dengan penuh kasih dan dengan kerendahan hati mau mengampuni orang-orang berdosa yang telah mati oleh karena pelanggaran-pelanggaran mereka. Yesus memberikan pengampunan tidak hanya kepada orang-orang tertentu, namun Yesus memberikan pengampunan kepada semua orang. Di dalam Alkitab juga sering disinggung tentang hal mengampuni, seperti halnya dalam Surat Efesus 4:32 mengatakan bahwa kita harus saling mengampuni sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni semua orang yang berdosa. Pengampunan yang sejati sesungguhnya tidak menyimpan kesalahan atau dengan kata lain jika seseorang menyakiti kita setiap saat, kita juga harus mengampuninya setiapa saat (Matius 18:21-22). Maka dari itu,kita sebagai anak-anak Allah harus mengikuti teladan baik Allah seperti dalam hal pengampunan. Kita sebagai manusia yang telah diampuni kesalahannya juga harus bisa mengampuni orang yang melakukan kesalahan kepada kita. So, jangan pernah berhenti mengampuni!! God bless you all.


Kamis, 14 Desember 2017

Cerpen - Pengemis Tua





"Pengemis Tua"

            Udara dingin seketika masuk ke dalam tubuh hingga menembus tulang-tulangku. Saat kutengok jam dinding ternyata arah jarum jam menunjuk pada pukul 04:00. Suara adzan subuh mulai berkumandang di telingaku. Suara itu mengingatkanku pada masa kecil yang penuh dengan kasih sayang seorang kakek. Kasih sayang yang begitu hangat dan yang membuatku selalu merasa nyaman saat berada di dekatnya. Andaikan waktu bisa diulang kembali aku akan memeluk dirinya bahkan aku tidak akan pernah melepaskan pelukakanku itu. Sungguh aku merindukanmu…. Sesaat aku terbangun dari lamunanku. Tanpa sadar, air mata pun mulai membanjiri pipi mungilku. Seketika itu juga aku melipat selimut yang telah menghangati tubuhku sepanjang malam. Aku pun segera berdoa kepada Tuhan, mengucap syukur atas hari baru yang telah Ia beri sebagai suatu kesempatan emas bagiku. Usai berdoa aku beranjak dari tempat tidur ternyamanku dan mulai menginjakkan kaki di lantai berkeramik putih yang sangat dingin.
Aku berjalan menuju toilet untuk mencuci mukaku yang sembap akibat air mata yang menetes dari mataku. Kuambil segayung air untuk mencuci mukaku dan mengambil segayung lagi untuk menggosok gigi. Tak lama kemudian aku pun kembali ke kamar tercintaku. Saat aku mulai berjalan, terdengar dering ponsel yang bersumber dari meja yang ada di sudut ruangan. Segera kuambil ponselku itu dan dengan rasa penasaran, perlahan-lahan kubuka layar ponselku. Setelah kubuka, kulihat 10 pesan dan 5 panggilan tak terjawab yang masuk pada ponselku. Pesan tak terduga telah kubaca kata demi kata, aku pun segera membalasnya dengan kata “Iya”. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengambil sepasang sepatu kets berwarna pink bertali putih. Dengan penuh semangat aku memasangkan sepatu yang telah kuambil dari rak sepatu itu pada kakiku. Tak lama kemudian aku berjalan menuju ke depan rumah untuk menghampiri kedua temanku. Tepat di depan pintu gerbang itu mereka sedang berdiri mengenakan kaos polos, celana training, dan sepatu kets sama seperti yang kukenakan saat ini. Aku pun segera menghampiri mereka.
                        “Woy bro mau jogging kemana nih?” kataku penasaran.
“Terserah kamu aja lah.” Sahut Neli, salah seorang temanku.
“Kok terserah aku sih? Kan kalian yang ngajakin.” Jawabku sambil mengernyitkan dahi.
“Udahlah kamu aja yang nentuin sar.” Sambung Sandra teman masa kecilku.
Tak terasa kami menghabiskan waktu beberapa menit hanya untuk berunding tentang kemana kami akan pergi jogging. Akhirnya, kami memutuskan untuk pergi ke lapangan yang cukup luas dan dikelilingi pohon-pohon rindang. Dengan penuh semangat, kami berlari-lari kecil menuju ke lapangan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Sambil menikmati udara yang segar kami terus berlari-lari. Matahari yang mulai menunjukkan sinarnya membuatku ingin cepat-cepat sampai tujuan. Sesampainya di lapangan, kami terus berlari tanpa menghentikan langkah sedikitpun. Menit demi menit kami lewati hanya untuk berlari mengelilingi lapangan. Tanpa terasa, keringat pun terus bercucuran hingga membasahi wajah kami. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dengan duduk di pinggir lapangan. Kami begitu menikmati waktu istirahat ini, terlihat dengan jelas dedaunan dari setiap pohon terus menari-nari menyambut datangnya sang mentari. Pepohonan yang rindang pun membuat kami menjadi malas mengangkat kaki dari tempat ini tetapi sinar matahari semakin terasa menyengat di kulitku sehingga membuatku ingin pulang ke rumah.
“Woy bro, pulang yuk!” kataku sembari mengusap dahi yang penuh dengan keringat.
“Nanti dulu lah, masih pengin main nih.” Sahut Sandra dengan wajah penuh harap.
                        “Udah jam berapa ini? Panas tau.” Balasku.
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah kami masing-masing. Saat kami sedang dalam perjalanan menuju ke rumah, terlihat dari kejauhan seorang kakek tua dengan pakaian yang terlihat lusuh dan compang-camping duduk termenung di depan warung makan. Dengan rasa penasaran kami pun mengahampiri kakek tua itu.
                        “Permisi kek, ada yang bisa kami bantu?” kataku dengan nada yang pelan.
Kakek itu hanya membalas pertanyaanku dengan sebuah senyuman. Hal itu membuatku semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada kakek tua ini. Aku berusaha mendekati dan duduk di samping kakek itu bahkan aku melanjutkan pertanyaanku kepadanya.
                        “Kakek kenapa?” tanyaku lagi.
                        “Kakek sudah tidak tahan hidup nak.” Katanya sambil meneteskan air mata.
                        “Kok kakek bicara seperti itu?” Tanya Neli penasaran.
“Kakek sudah tua, miskin, dan bahkan hidup sebatang kara nak. Untuk makan saja kakek tidak punya uang.” Jawab kakek sambil menatap kami.
“Kakek jangan bicara seperti itu, meskipun kakek tidak punya apa-apa dan bahkan tidak punya siapa-siapa di dunia ini, kakek harus selalu inget kalo kakek itu masih punya Tuhan yang sampai detik ini mau menjaga kakek.” Sahut Sandra meyakinkan kakek.
Kakek tua itu sudah tidak bisa menahan kesedihannya lagi, sehingga ia pun meneteskan air mata. Aku mengambil beberapa lembar tissue untuk kuberikan pada kakek itu. Beberapa menit kemudian kakek itu mulai melanjutkan pembicaraan kami.
                        “Kalian dari mana nak?” Tanya kakek.
                        “Kami baru saja selesai olahraga kek. Oh iya, kebetulan kita ada di depan warung makan nih gimana kalo kita makan dulu sekalian makan bareng sama kakek,” ajak Neli kepada kami.
                        “Setuju banget tuh.” Jawabku spontan.
Kami begitu menikmati kebersamaan ini meskipun sangat sederhana. Kulihat kakek tua itu begitu menikmati makanan yang sedang ia makan meskipun hanya nasi rames yang harganya tidak seberapa. Seketika itu juga aku teringat pada kakekku yang beberapa tahun lalu meninggal dunia akibat terkena penyakit liver. Saat kuperhatikan kakek tua itu, entah mengapa aku merasakan kehadiran sosok kakek yang dahulu begitu mengasihiku meskipun kami baru pertama bertemu. Setelah kami selesai makan, kakek itu kemudian memperkenalkan siapa dirinya kepada kami. Ia berkata kepada kami bahwa ia hanyalah seorang pengemis tua yang hidupnya hanya bergantung pada belas kasihan orang. Usianya yang tua membuat ia tidak bisa melakukan pekerjaan berat, apalagi kaki kanannya tidak bisa digerakkan akibat kecelakaan dua tahun yang lalu. Saat ini kakek hanya bisa duduk di pinggir jalan dan menantikan seseorang yang datang kepadanya dengan belas kasihan membawa sekeping uang logam yang menurut mereka mungkin sudah tidak ada nilainya lagi.
Aku benar-benar tidak bisa membayangkan betapa  beratnya menjalani hidup sebatang kara dengan tidak memiliki tempat untuk berteduh dan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terkadang aku tidak bersyukur atas apa yang kumiliki saat ini bahkan aku selalu menuntut lebih kepada kedua orang tuaku dan jika aku tidak bisa mendapatkannya pasti aku akan memberontak. Selama ini aku hanya bisa menghambur-hamburkan uang yang telah orang tuaku beri. Kini aku menyadari bahwa sesungguhnya apa yang aku miliki saat ini adalah Anugerah terbesar yang telah Tuhan berikan kepadaku. Aku memberanikan diri untuk menanyakan banyak hal mengenai keseharian kakek selama ini dan cerita kehidupan yang telah kakek itu jelaskan kepada kami membuatku berpikir untuk membawanya ke rumahku besok pagi. Ketulusan hati terhadap orang yang ada di sekelilingnya selama ini membuatku kagum kepadanya. Tiba-tiba aku teringat pada ayahku yang sedang terbaring sakit di RSU Palang Biru Jakarta. Aku pun segera berpamitan kepada kakek dan kedua temanku karena aku harus pergi ke rumah sakit untuk menjaga ayahku. Selang beberapa jam akhirnya aku tiba di rumah sakit.
 Kulihat kondisi ayahku semakin hari semakin memburuk, hal itu membuat hatiku semakin hancur tak karuan. Kulangkahkan kakiku keluar dari ruang rawat ayahku, aku tidak tega melihat kondisi ayahku yang terbaring lemah tak berdaya. Aku pun berjalan menuju ke taman yang berada di depan rumah sakit dan duduk disana untuk menenangkan hati. Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel yang bersumber dari saku celanaku dan tanpa berpikir panjang aku segera mengangkat telepon itu. Secara spontan aku menjatuhkan ponselku setelah mengangkat telepon dari nomor yang tidak kukenal itu. Kulangkahkan kakiku dengan terburu-buru menuju ke ruang rawat ayahku. Suara tangisan terdengar keras dari dalam ruangan tersebut. Dengan sesegara mungkin aku memasuki ruang itu dan di pojok ruangan  terlihat ibu dan sanak saudaraku sedang menangis. Mataku mulai mengarah pada seseorang yang sedang terbaring dengan ditutup kain putih. Tubuhku terasa lemas dan air mataku tidak berhenti mengalir saat kulihat sosok ayah yang selama ini kubanggakan yang juga mengasihiku seperti almarhum kakek sudah tak bernapas lagi.
Aku melangkahkan kakiku perlahan menuju ke luar ruangan karena aku benar-benar tidak sanggup menerima kenyataan ini. Saat aku menutup pintu, dalam waktu yang bersamaan terdengar suara tangisan yang suaranya seperti tidak asing bagiku dari arah belakang. Aku pun menoleh ke arah belakang. Kulihat dari kejauhan kedua temanku, Sandra dan Neli mendorong ambulance stracher dengan membawa seorang pasien. Dengan langkah yang cukup cepat aku segera menghampiri mereka. Kulihat lumuran darah menutupi beberapa bagian tubuh seorang pasien yang dibawa oleh kedua temanku. Air mataku semakin mengalir saat kuperhatikan dengan baik siapa orang yang dibawa oleh teman-temanku. Dengan langkah yang teburu-buru aku dan teman-temanku membawa kakek tua yang baru saja kami kenal itu ke ruang UGD supaya segera ditangani. Teman-temanku menceritakan seluruh kejadian kecelakaan yang menimpa kakek. Hatiku merasa tidak tenang setelah mendengar cerita mereka karena kecelakaan yang dialami kakek sangat tragis. Beberapa saat kemudian tim dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah yang terlihat muram.
Akupun memberanikan diri untuk menanyakan keadaan kakek yang baru saja mengalami kecelakaan tragis itu. Perkataan dokter seketika membuat napasku seakaan-akan berhenti dan hatiku mulai memanas karenanya. Air mataku semakin mengalir deras membasahi pipiku. Entah mengapa aku sangat merasa kehilangan ketika mendengar bahwa nyawa kakek tidak bisa tertolong lagi. Rencanaku untuk membawa pulang kakek tua itu ke rumah untuk menggantikan posisi almarhum kakekku  telah sirna dalam sekejap. Hari ini adalah hari yang penuh keduakaan besar bagiku karena dua orang yang sangat berarti dalam hidupku pergi meninggalkanku. Keesokan harinya keluarga kami sepakat untuk memakamkan kakek tua ini bersamaan dengan pemakaman ayahku. Aku meminta kepada ibuku untuk memakamkan ayahku dan kakek tua ini di sebelah makam milik almarhum kakekku. Hatiku semakin hancur ketika taburan bunga menyelimuti pemakaman kedua orang yang kucintai ini. Tangis kesedihan sesaat merasuk ke dalam hidupku.
-TAMAT-